Selasa, 15 Februari 2011

Pasar Karbon, Investor dan Perubahan Iklim

Pasar Karbon, Investor dan Perubahan Iklim

Oleh: Mohamad Rayan M.Ec
Beberapa artikel sebelumnya telah menjelaskan secara komprehensif hubungan antara lingkungan, perubahan iklim, gaya hidup dan usaha penurunan emisi melalui konservasi hutan dan hutan rawa gambut yang masih tersisa di Sumsel. Kita juga telah membicarakan bagaimana proses usaha pemitigasian emisi karbon melalui Manajemen Hutan Berkesinambungan dimana isu perlindungan seperti bagaimana memitigasi pembalakan liar, meningkatkan governance atau sistem pemerintahan berarti mengurangi korupsi di industri kehutanan dan penegakan hukum, kegiatan pengembangan masyarakat untuk memutus mata rantai pembalakan liar, restorasi areal yang terdegradasi dan pengukuran karbon untuk kegitaan proyek persiapan REDD. Terakhir kita telah menyentuh bagaimana memperdagangkan stok karbon dan mendapatkan dana dari kegiatan proyek memitigasi perubahan iklim.

Perjalanan dunia untuk mencegah pemanasan global telah berlangsung beberapa tahun dimulai dengan COP 1 sampai COP 16. COP 1 Konfrensi para pihak (COP) untuk pertama kalinya di selenggarakan di Berlin yang berlangsung sejak tanggal 28 maret – 7 April 1995. Cop 2-Geneva. COP-3, konferensi para pihak ke-tiga (COP-3) diselenggarakan di Kyoto pada tanggal 1 – 11 Desember 1997. Hasil dari COP-3 ini selanjutnya diadopsi menjadi kesepakatan yang di sebut Kyoto Protocol. Protokol ini menciptakan target individual (dan terikat secara hukum) bagi negara-negara industri untuk mempersiapkan langkah-langkah positif dalam menurunkan emisi CO2 dan GHG lainnya.Setelah COP 3, baru di COP 13 di Bali ada signifikan kesepakatan yang mempengaruhi usaha global memitigasi perubahan iklim.

COP-13, di Bali menghasilkan Bali Road Map yang menyiapkan REDD untuk menggantikan atau suplemen Kyoto Protokol, COP-14 di Polandia dan COP -15 di Copenhagen Denmark menghasilkan deklarasi Copenhagen yang menyebutkan REDD sebagai salah satu mekanisme yang bisa diaplikasikan tapi tidak mengikat secara hukum. Dan COP-16 Cancun, Mexico diharapkan menelurkan prsetujuan mengikat dimana REDD + diimplementasikan, namun hanya menghasilkan kesepakatan yang tidak mengikat. Kalau mengambil sisi positifnya, maka REDD+ lebih berpotensi menjadi isi dari kesepakatan yang dapat mengganti Protokol Kyoto di tahun 2013.

Jika kita simak, sudah enam belas tahun konferensi dilakukan, namun dunia belum bisa bermusyawarah dan mufakat untuk bersama-sama menyelamatkan bumi. Kenyataan ini merupakan refleksi kenyataan politik dan politik ekonomi dunia. Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Kanada selalu mengambil posisi mereka akan tanda tangan kesepakatan penurunan emisi seperti 40 % dari emisi level 1990 atau protokol yang baru apabila negara sedang berkembang seperti China dan India juga punya target pengurangan emisi seperti 40% dari tahun emisi level 1990. Memang pada kesepakatan mengikat Protokol Kyoto hanya negara maju atau annex 1 yang harus mengurangi emisi 20 % dari emisi level 1990.

Sedangkan dari sudut politik ekonomi, keengganan negara sedang berkembang untuk menandatangani penurunan emisi bisa berarti membatasi ruang gerak negara berkembang untuk tumbuh dengan cepat terutama untuk Cina dan India. Kalau kesepakatan mengikat negara berkembang maka negara maju bisa saja memberi kondisi semua produk ekspor dari negara berkembang harus memiliki label Carbon Neutral (Karbon Netral). Dan hal ini bisa menjadi alat politik dagang negara maju untuk memasang barriers of entries atau restriksi bagi barang impor dari negara sedang berkembang seperti dari Cina, India atau Indonesia.

Disinilah posisi Indonesia menjadi unik sejak COP 13 di Bali. Indonesia telah dianggap negara terdepan dalam memitigasi perubahan iklim dan dilihat sebagai pemain strategik dari usaha mencapai kesepakatan global menangani pemanansan global dan perubahan iklim. Konferensi PBB Perubahan Iklim 13 atau COP 13 tahun 2007 dianggap COP yang paling berhasil setelah COP 3 tahun 1997 di Kyoto Jepang. Kepiawaian dalam melobi Indonesia diakui dunia karena pada COP 13 Bali tersebut telah disetujui Bali Road Map atau peta perjalanan untuk menyepakati protokol pengganti Protokol Kyoto.

Sayang sampai COP 16 tahun ini di Cancun Mexico, negara-negara yang berpartisipasi di dalam PBB Perubahan Iklim belum bisa mencapai kesepakatan yang mengikat. Di Cancun disepakati kesepakatan tidak mengikat yang merinci secara detail mengenai skema REDD + yang berpotensi menggantikan atau memperkuat Protokol Kyoto.Yang jelas hasil COP 16 merupakan kabar baik bagi negara-negara yang masih memilki hutan yang luas seperti Brazil, Congo, Indonesia dan Guyana. Negara-negara maju juga berkomitmen untuk menambah bantuan untuk kegiatan adaptasi, mitigasi dan teknologi sebanyak $ 100 miliar dolar diatas komitmen $30 miliar dolar dijanjikan di COP 15 di Copenhagen, Denmark tahun lalu.

Dalam kesepakatan COP 16 di Cancun telah disepakati aksi untuk adaptasi, mitigasi dan transfer teknologi dalam menangani perubahan iklim. Pada Bagian III, disepakati usaha memitigasi perubahan iklim melalui pencegahan deforestasi dan degredasi hutan. Dalam poin C dari bagian III di jelaskan yang termasuk skema Reduction Emission From Deforestation and Degredation + atau REDD + adalah sbb: Sebelumnya hanya dua definisi saja untuk REDD. Sekarang REDD + definisinya menjadi lima yaitu: penurunan emisi dari deforestasi ;Penurunan emisi dari degradasi hutan; Konservasi stok karbon di hutan (Conservation of forest carbon stocks); Penurunan emisi dari pengelolaan hutan lestari (Sustainable management of forest) dan Penambahan stok karbon di hutan (Enhancement of forest carbon stocks).

Dari 30 proyek REDD+ yang ada di Indonesia, hampir semua mengacu dan mengharapkan mendapatkan penjualan karbon pada pasar mengikat. Hanya ada tiga proyek yang fokus pada potensi penjualan karbon di VCM, Pasar Karbon Sukarela yaitu proyek di Restorasi Ekosistem di Jambi dan Sumsel, Proyek Rimba Raya di kalteng yang telah mendapatkan stadar VCS dan Proyek Katingan di Kalteng. Ketiga proyek ini mengajak investor untuk menanamkan modal untuk mengelola hutan demi menjual jasa lingkungan karbon.

Dengan adanya kenyataan belum adanya pasar karbon mengikat maka bagi proyek REDD yang dirancang dan didanai oleh swasta ingin menjual sertifikat karbon mereka ke Pasar Karbon Sukarela atau Voluntary Carbon Market. Standar yang dipakai oleh VCM adalah VCS yaitu Voluntary Carbon Standard yang sangat fokus pada isu additionality (penambahan), permanance (permanensi) dan leakage (kebocoran).

Beradasarkan metode standar Voluntary Carbon Standard (VCS), terdapat 5 kategori program Penegelolaan Hutan Berkesinambungan (SFM), yaitu: (1) Perubahan dari sistem penebangan konvensional menjadi pembalakan berdampak rendah (Reduced Impact Logging-RIL), (2) RIL + penurunan jatah tebang tahunan > 25%, (3) Perubahan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi (Restorasi), (4) Perpanjangan daur tebang, dan (5) Peningkatan produktifitas.

Standard VCS seperti standard ISO tetapi untuk standar perdagangan karbon merupakan salah satu standar yang harus diikuti kalau sebuah proyek karbon dan REDD ingin setelah melalui verifikasi memperdagangkan karbon yang dikonservasi di areal proyek. VCS adalah standar yang dipakai oleh Voluntary Carbon Market (VCM). VCM adalah pasar karbon sukarela dimana sertifikat dari jumlah karbon yang dihitung di satu proyek diperdagangkan. Jadi yang diperdagangkan hanyalah sertifikat menyatakan jumlah karbon yang dikonservasi setiap tahun kalau ada kegiatan atau intervensi di areal proyek dibanding business as usual, bisnis seperti biasa.

Untuk mendapatkan sertifikat ini, maka penghitungan karbon yang dikonservasi di areal proyek harus dilakukan. Dan pengukuran harus mengikuti standar VCS. Setelah terukur, maka perlu disertifikasi oleh badan standar VCS tadi. Baru Sertifikat bisa diperdagangkan di pasar karbon sukarela yang sudah ada di Chicago, Selandia Baru, London dan mulai tahun depan di California.

PT. Rimba Raya Conservation bekerja dengan investor termasuk Infinite Earth dari Amerika dan Gazprom dari Russia. Pihak swasta inilah yang menjadi proyek proponent ke Kemenhut. Secara simultan mereka mengajukan permohonan izin restorasi ekosistem untuk mengelola hutan di Kabupaten Seruyan kalteng seluas 91,215 ha hutan rawa gambut dan mempersiapkan Project Development Description (PDD) untuk diajukan pada Voluntary Carbon Standard. Adapun metoda yang dipakai adalah avoidance from planned deforestation from government policy and palm oil company yang bermakna menghitung karbon yang dikonservasi dengan menghindari penebangan berencana oleh kebijakan pemerintah yaitu izin yang dikeluarkan dan rencana pembuatan kebun kelapa sawit di areal tersebut.

Jadi karbon yang dilindungi dengan adanya proyek konservasi karbon apabila rencana proyek pemerintah dan perkebunan kelapa sawit yang telah diberikan pada areal tersebut dibatalkan dan diganti dengan proyek REDD + PT. Rimba Raya Conservation. Nah proyek ini telah mendapatkan stempel VCS Standard namun masih menunggu izin Restorasi Ekosistem dari Kemenhut. Kita berharap Kemenhut cepat-cepatlah memberikan izin pada proyek ini sebab mereka telah mempunyai pembeli sertifikat karbon yaitu perusaan gas Rusia Gazprom.

Kabar baik juga kami dapatkan dari Sekretariat Jendral Kemenhut Bapak Hadi Daryanto pada tanggal 21 Desember 2010 lalu di acara workshop kemenhut mereview semua proyek REDD di Indonesia, investor besar George Soros bekerjasama dengan Wetlands Indonesia telah mengajukan permohonan proyek REDD seluas 450.000 ha di Kalteng untuk dikelola dan mengkonservasi karbon untuk mendapatkan Certified Emission Reductions (CER) atau sertifikat karbon yang akan dijual di Pasar Karbon Sukarela.

Pada acara tahunan itu, GTZ MRPP mendapat kesempatan memaparkan kegiatan proyek yang telah diimplementasikan bersama 18 proyek lainnya yang hadir pada rapat tersebut. Dan dapat dilaporkan proyek GTZ MRPP secara totalitas merupakan proyek yang paling depan dari 30 proyek yang ada.

Ini merupakan berita baik bagi Muba dan Sumsel dari acara presentasi semua proyek baik yang mengacu pada Pasar Karbon Mengikat ataupun mengacu pada Pasar Karbon Sukarela, proyek GTZ MRPP merupakan proyek terdepan. Salah satu capaian yang luar biasa adalah diadopsinya metoda pengukuran karbon atau akutansi karbon oleh Indonesia sebagai metode rujukan untuk mengukur karbon di setiap proyek REDD+. Capaian yang kedua adalah proyek MRPP telah bergerak pada tahap implementasi serta berbagi mengenai pengalaman dan telah membentuk Kelompok Masyarakat Peduli Hutan yang beranggotakan 200 penduduk di dalam dan sekitar hutan gambut alami Merang. Capain yang ketiga secara legalitas sejak Juli 2010 menjadi proyek Demostration Activities (DA) REDD + yang telah memenuhi semua persyaratan proyek REDD+ dan siap menerima dana kucuran dari Letter Of Intent Norwegia dan Indonesia. Semoga. (GTZ MRPP)

Penulis adalah ICVKM Specialist di Proyek GTZ MRPP.