Sabtu, 13 Juni 2009

REDD vs VCM

REDD vs VCM
Mohamad Rayan M.Ec

Jakarta. Indonesia telah memperjuangkan 4 hal pada Bali COP 13, Desember 2007 yang lalu: pertama, perbaikan Protokol Kyoto dengan memasukan hutan yang ada di protokol, kedua meningkatkan transfer teknologi penurunan emisi Gas Rumah Kaca, ketiga mekanisme financial dan keempat menghubungkan perubahan cuaca dengan Millenium Development Goals (MDGs).

Memang ada empat hal yang akan diperjuangkan Indonesia namun hal yang paling cepat dapat menguntungkan Indonesia adalah sehubungan dengan hal yang pertama, memasukan hutan yang ada ke protokol dan berkaitan dengan hal ketiga, mekanisme financial.

Untuk itulah Indonesia mempersiapkan metode menjaga dan mengurangi penebangan pohon dalam upaya mengurangi emisi gas-gas rumah kaca atau REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation). Namun REDD ini tidak bisa langsung diimplementasikan karena ini hanya metode yang akan di ajukan sebagai arah atau road map pasca berakhirnya protokol Kyoto 2012. Alternatif yang perlu diperjuangkan dan dapat membuahkan hasil buat Indonesia adalah VCM (Voluntary Carbon Market) atau Pasar Karbon Sukarela pasca Bali.

Banyak hal yang bisa kita dapat di Bali apabila Indonesia pandai memanfaatkan kesempatan yang disediakan oleh Conference of the Parties 13 di Bali. Pertama dari segi politik Internasional Indonesia bisa menjadi pemimpin negara-negara hijau di katulistiwa atau Green Belt Countries seperti Indonesia, Brazil, Malaysia, Kongo, Guyana. Bali COP 13 bisa menjadi acara momentus sebesar Konferensi Asia-Afrika 1955 yang mengubah agenda politik dunia. Kalau dulu isu koloniasme dihancurkan. Sekarang isu pemanasan bumi membuat pentingnya negara-negara sabuk hijau dalam kanca politik dunia karena negara sabuk hijau inilah yang bisa menyelamatkan dunia dari bahaya terorisme terbesar di dunia yaitu pemanasan bumi.

Di Bali COP 13 telah ada transaksi pertama di dunia melalui metode VCM oleh beberapa negara dari sabuk hijau yang akan mengkonservasi hutan yang masih perawan. Transaksi ini akan berbentuk kerjasama antara swasta dan public atau Private Public Partnership. Lima negara sabuk hijau bisa mengajukan untuk Indonesia antara swasta dan kabupaten Malinau Kaltim, Brazil di daerah Amazonas, Sabah untuk Malaysia dan Kongo untuk Afrika. Karena Indonesia berinisiatif maka Indonesialah menjadi pemimpin negara-negara sabuk hijau ini.

Kedua, dari segi ekonomi Indonesia berpotensi mendapatkan dana sebesar 2 milyar dolar Amerika per tahun dari mengkonservasi hutan. Dana sebesar ini dapat Indonesia dapatkan dari Bali COP 13 dan pasca apabila mendukung dan memfasilitasi metode mitigasi pemanasan bumi melalui konservasi hutan melalui VCM atau Pasar Karbon Sukarela(PKS). REDD juga berpotensi mendapatkan dana untuk pengungaran emisi dari deforestasi dan degredasi.

Sebelum kita membahas metode REDD kita perlu tahu dulu metode pengurangan efek perubahan cuaca melalui Clean Development Mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih. CDM (Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah berdasarkan Protokol Kyoto. Dalam CDM hutan yang diforestasi dan di degredasi pra 1990 yang hanya dapat di mintakan kompensasi dari metode mandatori ini. Untuk Indonesia aforestasi dan reforestasi pra 1990 sangat sedikit sekali dan akan susah membuktikannya juga.

Metode CDM ini selain mitigasi gas karbondioksida, gas terbesar penyebab Gelas Rumah Kaca, ada juga program pengelolahan gas metan penyebab GRK terbesar kedua dan 23 kali lebih lama menetap di gelas rumah kaca. Gas metan ini timbul akibat sampah manusia modern yang rata-rata 2 kilo perhari. Dalam metode CDM ini landfill atau TPA di kelola dengan teknologi modern sehingga gas metan dapat di hancurkan. Namun sayang proses untuk mengakses dana Protokol Kyoto ini sangat birokratik dengan proses panjang dan tidak fleksibel. Memang dana yang tersedia untuk diakses ada $8 milyar dolar. Sayang bagi Indonesia belum ada proyek konkrit yang berjalan dalam metode ini. Sebagian besar proyek-proyek CDM adalah menggunakan teknologi hijau modern untuk memitigasi GRK. Saat ini India dan China mendominasi proyek CDM.

Seperti diketahui Protokol Kyoto adalah protokol yang dilahirkan oleh badan PBB untuk konvensi perubahan cuaca atau UNFCCC( Framework Convention on Climate Change). Dalam Protokol Kyoto negara-negara maju atau negara Annex1 seperti Eropa, Jepang, Selandia Baru dan Kanada berjanji akan menurunkan pada jangka 2008-2012 emisi 5 persen dibawah aras 1990. Sedangkan negara-negara berkembang (Non-Annex 1) dapat melaksanakan Proyek Mekanisme Pembangunan Bersih. Protokol Kyoto ini akan berakhir 2012. Nah, Bali menjadi penting mempersiapkan roadmap atau arah berikutnya Kyoto Protokol pasca 2012. Indonesia telah mengajukan dan memperjuangkan metode REDD dalam COP 13 di Bali.

REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) berdasarkan Protokol UNFCCC. Beda dengan CDM, kawasan hutan yang masih ada di masukkan bersamaan dengan aforestasi dan deforestasi. Protokol REDD apabila diadopsi mulai setelah 2012 sedangkan pilot proyek mulai 2009. Proses pengaksesan dana akan relatif panjang dengan kontrol pemerintah yang tinggi.

Kekuatan REDD adalah kawasan hutan yang masih ada, Aforestasi , Reforestasi dan lahan terdegradasi dan lahan yang mengalami deforestasi diharapkan mendapatkan kompensasi. Program Pemgembangan masyarakat juga diusulkan. Disini mungkin delegasi Indonesia dapat memperjuangkan REDD dengan menghubungkan REDD dengan Millenium Development Goals atau MDGs. Terutama target dalam mengurangi kemiskinan. Nah kalau dana bisa didapat dari REDD untuk mengurangi kemiskinan maka REDD akan didudukung negara atau delegasi lain untuk menjadi roadmap pasca 2012. Kalau diadopsi maka REDD akan akan di diskusikan di COP 13, 14 dan 15.

Selain itu REDD mempunyai potensi pasar $15-50 milyar per tahun dari data yang diajukan Indonesia Forest Climate Alliance. Sedangkan Indonesia berpotensi menerima $2 Milyar per tahun. Pembiayan Proyek Pilot dengan dana multilateral yang sudah ada atau lewat pasar karbon.

Adapun sejarah REDD dimulai dengan dibentuknya The Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA) dibentuk pertengahan 2007 untuk menyongsong persiapan pelaksanaan REDD. IFCA ini diarahkan oleh Pemerintah Indonesia dan di dukung oleh Pemerintah Australia, Jerman dan Inggris. IFCA beranggotakan para pakar di perubahan iklim dan proses UNFCCC termasuk Dephut dan Kementerian Lingkungan Hidup. Juga terlibat di dalam IFCA lembaga-lembaga di Indonesia, Universitas, Lembaga Peneliti, CIFOR, Ecosecurities, ICRAF, Sekala, TNC, Wetlands, WWF dan juga lembaga luar negeri: AGO, ANU, DFID, GTZ, ODI, URS, Winrock, World Bank dan WRI.

IFCA bertujuan untuk mendukung tahap persiapan awal, menilai kesiapan dan mengindentifikasi potensi pilot (percontohan) REDD di Indonesia. Potensi pilot ini baru bisa dimulai 2009 berbeda dengan VCM yang sudah memulai pilot projek di Indonesia.

VCM atau Pasar Karbon Sukarela seperti namanya berdasarkan azas sukarela. Karena itu proses metode ini lebih fleksibel. Semua bentuk organisasi dapat ikut serta.Di Pasar Karbon Sukarela kawasan hutan yang masih ada, aforestasi dan reforestasi dimasukan sebagai cara untuk memitigasi perubahan cuaca. Pada waktu yang sama di dalam metode VCM, program pengembangan masyarakat. Dari sudut konservasi maka VCM komplemen REDD.

Pasar karbon sukarela (seperti Chicago Climate Exchange, NSW Australia dll) relatif baru, diinisiasi pada tahun 2000. Sistem pendaftaran, pengurangan dan perdagangan yang meliputi ke-6 jenis GRK. Konservasi hutan diperhitungan penyerapan emisi karbon pada kawasan hutan yang masih ada. Pelaku perdagangan karbon cenderung memilih pasar karbon sukarela karena lebih fleksibel, transparan dan akses pasar yang relatif mudah.

Adapun besar pasar karbon menurut estimasi Bloomberg hutan Indonesia bisa menyetop pengeluaran emisi sebanyak 1 sampai 2 milyar ton karbon dan bisa men-generasi US $39 milyar dana per tahun. Estimasi konservatif, Indonesia bisa menjual kredit VER (Voluntary Emissions Reduction) sebanyak US $10 milyar per tahun. Estimasi ini berdasarkan luasan hutan Indonesia. Karena Indonesia memilki kawasan hutan terluas ke 3 di dunia dan Indonesia terletak di daerah katulistiwa sehingga relatif stabil menyerap emisi karbon sepanjang tahun, maka Indonesia sewajarnyalah mendapatkan dana yang signifikan di COP 13 Bali.

COP 13 ini akan banyak membawa potensi. Delegasi Indonesia telah mengajukan REDD dan mempromosikan VCM di dalam konferensi Bali Cop 13 untuk menjadi jalan memitigasi pemanasan bumi dan perubahan cuaca serta membawa manfaat bagi Indonesia. Betulkah.

Salam Karbon
Mohamad Rayan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar